Free Like's Bird

WELCOME TO MY BLOG!!
doozo yoroshiku :D

Sabtu, 18 Desember 2010

Festiival

Hinamatsuri (雛祭り, ひなまつり ?) atau Hina Matsuri adalah perayaan setiap tanggal 3 Maret di Jepang yang diadakan untuk mendoakan pertumbuhan anak perempuan. Keluarga yang memiliki anak perempuan memajang satu set boneka yang disebut hinaningyō (雛人形 ?, boneka festival).

Satu set boneka terdiri dari boneka kaisar, permaisuri, puteri istana (dayang-dayang), dan pemusik istana yang menggambarkan upacara perkawinan tradisional di Jepang. Pakaian yang dikenakan boneka adalah kimono gaya zaman Heian. Perayaan ini sering disebut Festival Boneka atau Festival Anak Perempuan karena berawal permainan boneka di kalangan putri bangsawan yang disebut hiina asobi (bermain boneka puteri).

Walaupun disebut matsuri, perayaan ini lebih merupakan acara keluarga di rumah, dan hanya dirayakan keluarga yang memiliki anak perempuan. Sebelum hari perayaan tiba, anak-anak membantu orang tua mengeluarkan boneka dari kotak penyimpanan untuk dipajang. Sehari sesudah Hinamatsuri, boneka harus segera disimpan karena dipercaya sudah menyerap roh-roh jahat dan nasib sial.Boneka diletakkan di atas panggung bertingkat yang disebut dankazari (tangga untuk memajang). Jumlah anak tangga pada dankazari ditentukan berdasarkan jumlah boneka yang ada. Masing-masing boneka diletakkan pada posisi yang sudah ditentukan berdasarkan tradisi turun temurun. Panggung dankazari diberi alas selimut tebal berwarna merah yang disebut hi-mōsen.

Satu set boneka biasanya dilengkapi dengan miniatur tirai lipat (byōbu) berwarna emas untuk dipasang sebagai latar belakang. Di sisi kiri dan kanan diletakkan sepasang miniatur lampion (bombori). Perlengkapan lain berupa miniatur pohon sakura dan pohon tachibana, potongan dahan bunga persik sebagai hiasan.Dua boneka yang melambangkan kaisar (o-dairi-sama) dan permaisuri (o-hina-sama) diletakkan di tangga paling atas. Dalam bahasa Jepang, dairi berarti "istana kaisar", dan hina berarti "sang putri" atau "anak perempuan". Wilayah Kansai dan Kanto memiliki urutan kanan-kiri yang berbeda dalam penempatan boneka kaisar dan permaisuri, namun susunan boneka di setiap anak tangga berikutnya selalu sama.Tiga boneka puteri istana (san-nin kanjo) diletakkan di tangga kedua. Ketiga puteri istana membawa peralatan minum sake. Boneka puteri istana yang paling tengah membawa mangkuk sake (sakazuki) yang diletakkan di atas sampō. Dua boneka puteri istana yang lain membawa poci sake (kuwae no chōshi), dan wadah sake yang disebut (nagae no chōshi). Gigi salah satu boneka puteri istana dihitamkan (ohaguro) dan alisnya dicukur habis. Dalam boneka versi Kyoto, puteri istana yang paling tengah dari Kyoto membawa shimadai (hiasan tanda kebahagiaan dari daun pinus, daun bambu, dan bunga ume).Lima boneka pemusik pria (go-nin bayashi) berada di tangga ketiga. Empat musisi masing-masing membawa alat musik, kecuali penyanyi yang membawa kipas lipat. Alat musik yang dibawa masing-masing pemusik adalah taiko, ōkawa, kotsuzumi, dan seruling.Dua boneka menteri (daijin) yang terdiri dari Menteri Kanan (Udaijin) dan Menteri Kiri (Sadaijin) berada di tangga ke-4. Boneka Menteri Kanan digambarkan masih muda, sedangkan boneka Menteri Kiri tampak jauh lebih tua. Dari sudut pandang pengamat, Menteri Kanan berada di sebelah kiri, sedangkan Menteri Kiri berada di sebelah kanan.Pada tangga kelima diletakkan tiga boneka pesuruh pria (shichō). Ketiganya masing-masing membawa bungkusan berisi topi (daigasa) yang dibawa dengan sebilah tongkat, sepatu yang diletakkan di atas sebuah nampan, dan payung panjang dalam keadaan tertutup. Dalam boneka versi lain, pesuruh pria membawa penggaruk dari bambu (kumade) dan sapu.[2] Selanjutnya, kereta sapi dan berbagai miniatur mebel yang dijadikan hadiah pernikahan diletakkan di atas tangga-tangga di bawahnya.Hidangan istimewa untuk anak perempuan yang merayakan Hinamatsuri antara lain: kue hishimochi, kue hikigiri, makanan ringan hina arare, sup bening dari kaldu ikan tai atau kerang (hamaguri), serta chirashizushi. Minumannya adalah sake putih (shirozake) yang dibuat dari fermentasi beras ketan dengan mirin atau shōchū, dan kōji. Minuman lain yang disajikan adalah sake manis (amazake) yang dibuat dari ampas sake (sakekasu) yang diencerkan dengan air dan dimasak di atas api.Sebelum kalender Gregorian digunakan di Jepang, Hinamatsuri dirayakan setiap hari ke-3 bulan 3 menurut kalender lunisolar. Menurut kalender lunisolar, hari ke-3 bulan 3 disebut momo no sekku (perayaan bunga persik), karena bertepatan dengan mekarnya bunga persik.

Kalender Gregorian mulai digunakan di Jepang sejak 1 Januari 1873 sehingga perayaan Hinamatsuri berubah menjadi tanggal 3 Maret. Walaupun demikian, sebagian orang masih memilih untuk merayakan Hinamatsuri sesuai perhitungan kalender lunisolar (sekitar bulan April kalender Gregorian),

Dalam sejumlah literatur klasik ditulis tentang kebiasaan bermain boneka di kalangan anak perempuan bangsawan istana dari zaman Heian (sekitar abad ke-8). Menurut perkiraan, boneka dimainkan bersama rumah boneka yang berbentuk istana. Permainan di kalangan anak perempuan tersebut dikenal sebagai hina asobi (bermain boneka puteri). Pada prinsipnya, hina asobi adalah permainan dan bukan suatu ritual.

Sejak abad ke-19 (zaman Edo), hina asobi mulai dikaitkan dengan perayaan musim (sekku) untuk bulan 3 kalender lunisolar. Sama halnya dengan perayaan musim lainnya yang disebut "matsuri", sebutan hina asobi juga berubah menjadi Hinamatsuri dan perayaannya meluas di kalangan rakyat.

Orang Jepang di zaman Edo terus mempertahankan cara memajang boneka seperti tradisi yang diwariskan turun temurun sejak zaman Heian. Boneka dipercaya memiliki kekuatan untuk menyerap roh-roh jahat ke dalam tubuh boneka, dan karena itu menyelamatkan sang pemilik dari segala hal-hal yang berbahaya atau sial. Asal-usul konsep ini adalah hinanagashi ("menghanyutkan boneka"). Boneka diletakkan di wadah berbentuk sampan, dan dikirim dalam perjalanan menyusuri sungai hingga ke laut dengan membawa serta roh-roh jahat.

Kalangan bangsawan dan samurai dari zaman Edo menghargai boneka Hinamatsuri sebagai modal penting untuk wanita yang ingin menikah, dan sekaligus sebagai pembawa keberuntungan. Sebagai lambang status dan kemakmuran, orang tua berlomba-lomba membelikan boneka yang terbaik dan termahal bagi putrinya yang ingin menjadi pengantin.

Boneka yang digunakan pada awal zaman Edo disebut tachibina (boneka berdiri) karena boneka berada dalam posisi tegak, dan bukan duduk seperti sekarang ini. Asal-usul tachibina adalah boneka berbentuk manusia (katashiro) yang dibuat ahli onmyōdō untuk menghalau nasib sial. Boneka dalam posisi duduk (suwaribina) mulai dikenal sejak zaman Kan'ei. Pada waktu itu, satu set boneka hanya terdiri sepasang boneka yang keduanya bisa dalam posisi duduk maupun berdiri.

Sejalan dengan perkembangan zaman, boneka menjadi semakin rumit dan mewah. Pada zaman Genroku, orang mengenal boneka genrokubina (boneka zaman Genroku) yang dipakaikan kimono dua belas lapis (jūnihitoe). Pada zaman Kyōhō, orang mengenal boneka ukuran besar yang disebut kyōhōbina (boneka zaman Kyōhō). Perkembangan lainnya adalah pemakaian tirai lipat (byōbu) berwarna emas sebagai latar belakang genrokubina dan kyōhōbina sewaktu dipajang.

Keshogunan Tokugawa pada zaman Kyōhō berusaha membatasi kemewahan di kalangan rakyat. Boneka berukuran besar dan mewah ikut menjadi sasaran pelarangan barang mewah oleh keshogunan. Sebagai usaha menghindari peraturan keshogunan, rakyat membuat boneka berukuran mini yang disebut keshibina (boneka ukuran biji poppy), dan hanya berukuran di bawah 10 cm. Namun keshibina dibuat dengan sangat mendetil, dan kembali berakhir sebagai boneka mewah.

Sebelum zaman Edo berakhir, orang mengenal boneka yang disebut yūsokubina (boneka pejabat resmi istana). Boneka dipakaikan kimono yang merupakan replika seragam pejabat resmi istana. Prototipe boneka Hinamatsuri yang digunakan di Jepang sekarang adalah kokinbina (translasi literal: boneka zaman dulu). Perintis kokinbina adalah Hara Shūgetsu yang membuat boneka seakurat mungkin berdasarkan riset literatur sejarah. Boneka yang dihasilkan sangat realistik, termasuk penggunaan gelas untuk mata boneka.

Mulai sekitar akhir zaman Edo hingga awal zaman Meiji, boneka Hinamatsuri yang mulanya hanya terdiri dari sepasang kaisar dan permaisuri berkembang menjadi satu set boneka lengkap berikut boneka puteri istana, pemusik, serta miniatur istana, perabot rumah tangga dan dapur. Sejak itu pula, boneka dipajang di atas dankazari (tangga untuk memajang), dan orang di seluruh Jepang mulai merayakan hinamatsuri secara besar-besaran.Obon (お盆 ?) adalah serangkaian upacara dan tradisi di Jepang untuk merayakan kedatangan arwah leluhur yang dilakukan seputar tanggal 15 Juli menurut kalender Tempō (kalender lunisolar). Pada umumnya, Obon dikenal sebagai upacara yang berkaitan dengan agama Buddha Jepang, tapi banyak sekali tradisi dalam perayaan Obon yang tidak bisa dijelaskan dengan dogma agama Buddha. Obon dalam bentuk seperti sekarang ini merupakan sinkretisme dari tradisi turun temurun masyarakat Jepang dengan upacara agama Buddha yang disebut Urabon.

Tradisi dan ritual seputar Obon bisa berbeda-beda bergantung pada aliran agama Buddha dan daerahnya.

Di berbagai daerah di Jepang, khususnya di daerah Kansai juga dikenal perayaan Jizōbon yang dilakukan seusai perayaan Obon.Obon merupakan bentuk singkat dari istilah agama Buddha Urabon (盂蘭盆 ?) yang hanya diambil aksara Kanji terakhirnya saja bon (盆 ?, nampan) ditambah awalan honorifik huruf "O." Pada mulanya, Obon berarti meletakkan nampan berisi barang-barang persembahan untuk para arwah. Selanjutnya, Obon berkembang menjadi istilah bagi arwah orang meninggal (shōrō) yang diupacarakan dan dimanjakan dengan berbagai barang persembahan. Di daerah tertentu, Bonsama atau Oshorosama adalah sebutan untuk arwah orang meninggal yang datang semasa perayaan Obon.

Asal-usul tradisi Obon tidak diketahui secara pasti. Tradisi memperingati arwah leluhur di musim panas konon sudah ada di Jepang sejak sekitar abad ke-8.

Sejak dulu di Jepang sudah ada tradisi menyambut kedatangan arwah leluhur yang dipercaya datang mengunjungi anak cucu sebanyak 2 kali setahun sewaktu bulan purnama di permulaan musim semi dan awal musim gugur. Penjelasan lain mengatakan tradisi mengenang orang yang meninggal dilakukan 2 kali, karena awal sampai pertengahan tahun dihitung sebagai satu tahun dan pertengahan tahun sampai akhir tahun juga dihitung sebagai satu tahun.

Di awal musim semi, arwah leluhur datang dalam bentuk Toshigami (salah satu Kami dalam kepercayaan Shinto) dan dirayakan sebagai Tahun Baru Jepang. Di awal musim gugur, arwah leluhur juga datang dan perayaannya secara agama Buddha merupakan sinkretisme dengan Urabon.

Jepang mulai menggunakan kalender Gregorian sejak tanggal 1 Januari 1873, sehingga perayaan Obon di berbagai daerah di Jepang bisa dilangsungkan pada tanggal:

1. bulan ke-7 hari ke-15 menurut kalender Tempō
2. 15 Juli menurut kalender Gregorian
3. 15 Agustus menurut kalender Gregorian mengikuti perhitungan Tsukiokure (tanggal pada kalender Gregorian selalu lebih lambat 1 bulan dari kalender Tempō).

Pada tanggal 13 Juli 1873 pemerintah daerah Prefektur Yamanashi dan Prefektur Niigata sudah menyarankan agar orang tidak lagi merayakan Obon pada tanggal 15 Juli menurut kalender Tempō

Sekarang ini, orang Jepang yang merayakan Obon pada tanggal 15 Juli menurut kalender Tempō semakin sedikit. Pada saat ini, orang Jepang umumnya merayakan Obon pada tanggal 15 Agustus menurut kalender Gregorian.

Orang yang tinggal di daerah Kanto secara turun temurun merayakan Obon pada tanggal 15 Juli kalender Gregorian, termasuk mengunjungi makam pada sebelum tanggal 15 Juli. Pengikut salah satu kuil di Tokyo selalu ingin merayakan Obon pada tanggal 15 Juli sehingga Obon jatuh pada tanggal 15 Juli, sedangkan pengikut kuil di Prefektur Kanagawa selalu ingin merayakan Obon tanggal 15 Agustus sehingga Obon jatuh pada tanggal 15 Agustus.

Media massa memberitakan perayaan Obon pada tanggal 15 Agustus sehingga orang di seluruh Jepang menjadi ikut-ikutan merayakan Obon pada tanggal 15 Agustus.

Obon pada akhirnya bukan lagi merupakan upacara keagamaan yang merayakan kedatangan arwah leluhur melainkan hari libur musim panas yang dinanti-nanti banyak orang di Jepang. Sekarang Obon lebih banyak diartikan sebagai kesempatan pulang ke kampung halaman untuk bertemu sanak saudara dan membersihkan makam. Obon sama artinya dengan liburan musim panas bagi orang Jepang yang tidak mengerti tradisi agama Buddha.

Ada kemungkinan perayaan Obon mendapat pengaruh dari orang yang mengartikan peristiwa bintang jatuh (hujan meteor) sebagai kedatangan arwah leluhur. Di dalam beberapa kebudayaan, arwah orang yang sudah meninggal sering diumpamakan berubah menjadi bintang, sedangkan peristiwa bintang jatuh paling banyak terjadi bertepatan dengan hujan meteor Perseid tahunan yang mencapai puncaknya beberapa hari sebelum tanggal 15 Agustus.

Tanggal 15 Agustus bagi agama Katolik merupakan hari raya Santa Perawan Maria diangkat ke surga yang banyak dirayakan di Eropa Selatan, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Perayaan Obon pada tanggal 15 Agustus juga bertepatan dengan hari peringatan berakhirnya perang (Shūsen kinenbi) yang di luar Jepang dikenal sebagai V-J Day (Victory over Japan Day).Tradisi dalam merayakan Obon berbeda-beda tergantung pada daerahnya, tapi ada beberapa tradisi yang umumnya dilakukan orang di seluruh Jepang.Orang Jepang percaya arwah orang yang meninggal pulang untuk merayakan Obon ke rumah yang pernah ditinggalinya. Pada tanggal 13 Agustus, anak cucu yang mengharapkan kedatangan leluhur membuat api kecil di luar rumah yang disebut mukaebi untuk menerangi jalan pulang bagi arwah leluhur. Pada masa lokasi makam masih berdekatan dengan lokasi permukiman, orang zaman dulu sering harus pergi sampai ke makam untuk menyambut kedatangan arwah leluhur.

Setelah arwah leluhur sampai di rumah yang dulu pernah ditinggalinya, pendeta agama Buddha dipanggil untuk membacakan sutra bagi arwah leluhur yang baru saja datang. Sutra yang dibacakan oleh pendeta Buddha sewaktu Obon disebut Tanagyō karena dibacakan di depan altar berisi barang persembahan yang disebut shōrōdana (shōryōdana) atau tana.

Pada tanggal 16 Agustus, arwah leluhur pulang ke alam sana dengan diterangi dengan api yang disebut okuribi.Acara menari bersama yang disebut Bon Odori (盆踊り ?, tari Obon) dilangsungkan sebagai penutup perayaan Obon. Pada umumnya, Bon Odori ditarikan bersama-sama tanpa mengenal jenis kelamin dan usia di lingkungan kuil agama Buddha atau Shinto. Konon gerakan dalam Bon Odori meniru arwah leluhur yang menari gembira setelah lepas dari hukuman kejam di neraka.

Bon Odori merupakan puncak dari semua festival musim panas (matsuri) yang diadakan di Jepang. Pelaksanaan Bon Odori memilih saat terang bulan yang kebetulan terjadi pada tanggal 15 Juli atau 16 Juli menurut kalender Tempō. Bon Odori diselenggarakan pada tanggal 16 Juli karena pada malam itu bulan sedang terang-terangnya dan orang bisa menari sampai larut malam.

Belakangan ini, Bon Odori tidak hanya diselenggarakan di lingkungan kuil Shinto. Penyelenggara Bon Odori sering tidak ada hubungan sama sekali dengan organisasi keagamaan. Bon Odori sering dilangsungkan di tanah lapang, di depan stasiun kereta api atau di ruang-ruang terbuka tempat orang banyak berkumpul.

Di tengah-tengah ruang terbuka, penyelenggara mendirikan panggung yang disebut yagura untuk penyanyi dan pemain musik yang mengiringi Bon Odori. Penyelenggara juga sering mengundang pasar malam untuk menciptakan keramaian agar penduduk yang tinggal di sekitarnya mau datang. Bon Odori juga sering digunakan sebagai sarana reuni dengan orang-orang sekampung halaman yang pergi merantau dan pulang ke kampung untuk merayakan Obon.

Belakangan ini, jam pelaksanaan Bon Odori di beberapa tempat yang berdekatan sering diatur agar tidak bentrok dan perebutan pengunjung bisa dihindari. Penyelenggara Bon Odori di kota-kota sering mendapat kesulitan mendapat pengunjung karena penduduk yang tinggal di sekitarnya banyak yang sedang pulang kampung. Ada juga penyelenggara yang sama sekali tidak menyebut acaranya sebagai Bon Odori agar tidak dikait-kaitkan dengan acara keagamaan.Hatsu-obon atau Niibon adalah sebutan untuk perayaan Obon yang baru pertama kali dialami oleh arwah orang meninggal yang baru saja peringatan 49 harinya selesai diupacarakan. Perlakuan khusus diberikan untuk arwah yang baru pertama kali merayakan Obon dalam bentuk pembacaan doa yang lebih banyak.

Tradisi Hatsu-obon berbeda-beda tergantung pada daerahnya. Di daerah tertentu, orang yang tinggal di rumah yang baru saja mengalami kematian biasanya memasang lampion berwarna putih di depan pintu masuk rumah dan di makam.Ada berbagai tradisi unik di berbagai tempat di Jepang sehubungan dengan perayaan Obon.

* Kendaraan dari terong dan ketimun

Di daerah tertentu ada tradisi membuat kendaraan semacam kuda-kudaan yang disebut Shōryō-uma dari terong dan ketimun. Empat batang korek api atau potongan sumpit sekali pakai (waribashi) ditusukkan pada terong dan ketimun sebagai kaki. Terong berkaki menjadi "sapi" sedangkan ketimun menjadi "kuda" yang kedua-duanya dinaiki arwah leluhur sewaktu datang dan pulang. Kuda dari ketimun bisa lari cepat sehingga arwah leluhur bisa cepat sampai turun ke bumi, sedangkan sapi dari terong hanya bisa berjalan pelan dengan maksud agar arwah leluhur kalau bisa tidak usah cepat-cepat pulang.

* Mendoakan setan lapar

Di beberapa daerah dilangsungkan upacara Segaki di kuil agama Buddha untuk menolong Gaki (setan kelaparan) dengan mendirikan pendirian altar yang disebut Gakidana dan mendoakan arwah orang yang meninggal di pinggir jalan.

* Lampion Obon

Ada daerah yang mempunyai tradisi memajang lampion perayaan Obon yang disebut bon chochin (lentera bon) dengan maksud agar arwah leluhur bisa menemukan rumah yang dulu pernah ditinggalinya. Bon chochin terbuat dari washi dengan kaki penyangga dari kayu.

* Melarung lampion

Beberapa daerah memiliki tradisi tōrōnagashi berupa pelarungan lampion dari washi di sungai sebagai lambang melepas arwah leluhur untuk kembali ke alam sana. Ada daerah yang mempunyai tradisi shōrōnagashi yang menggunakan kapal kecil untuk memuat lampion sebelum dilarung di sungai.Liburan tidak resmi di Jepang sebelum dan sesudah hari raya Obon disebut liburan Obon (Obonyasumi) yang lamanya tergantung pada keputusan masing-masing perusahaan. Kantor-kantor dan pemilik usaha biasanya meliburkan karyawannya sebelum dan sesudah tanggal 15 Agustus selama 3 sampai 5 hari. * Prefektur Iwate

Funekko Nagashi (Morioka dan kota Tōno)

* Prefektur Akita

Tiga Bon Odori terbesar:

Kemanai Bon Odori di kota Kazuno (21-23 Agustus)
Hitoichi Bon Odori di kota Hachirōgata (18-20 Agustus)
Nishimonai Bon Odori di kota Ugo (16-18 Agustus)

* Prefektur Fukushima

Bon Odori yang diselenggarakan di kota Miharu memiliki panggung (yagura) untuk penyanyi dan pemusik yang unik.

[sunting] Daerah Kanto

* Prefektur Tochigi

Hyakuhatō Nagashi di kota Tochigi

* Tokyo

Tsukuda no Bon Odori

[sunting] Daerah Tokai

* Prefektur Gifu

Gujō Odori di kota Gujō

[sunting] Daerah Kansai

* Prefektur Kyoto

Gozan no Okuribi di kota Kyoto

* Prefektur Nara

Nara Daimonji Okuribi di kota Nara

[sunting] Daerah Chugoku

* Prefektur Hiroshima

Lampion Bontōrō di daerah Aki

[sunting] Daerah Shikoku

* Prefektur Tokushima

Awa Odori di kota Tokushima

[sunting] Daerah Kyushu

* Prefektur Nagasaki

Chankoko Odori di kota Gotō
Shōrōnagashi di beberapa tempat
Kembang api yang dinyalakan sejak siang hari di makam

* Prefektur Okinawa

Eisa di berbagai tempat
Angama di kota Ishigaki

[sunting] Di luar Jepang

Bon Odori sebagai pengenalan terhadap kebudayaan Jepang juga diselenggarakan di Jakarta dan juga di Bali. Di Penang dan Shah Alam, Bon Odori sudah merupakan acara tahunan untuk memperkenalkan makanan dan minuman khas Jepang.


Orang Jepang yang tinggal di Los Angeles dan Honolulu juga merayakan Obon dengan menarikan Bon Odori.Hari Anak-anak (こどもの日 ,Kodomo no hi?) adalah salah satu hari libur resmi di Jepang yang jatuh tanggal 5 Mei. Hari libur ini merupakan serangkaian hari libur di akhir April dan awal Mei yang disebut Golden Week (Minggu Emas) di Jepang.

Hari Anak-anak diperingati sejak tahun 1948 dan ditetapkan dengan undang-undang hari libur Jepang (Shukujitsu-hō) untuk "menghormati kepribadian anak, merencanakan kebahagiaan anak sambil berterima kasih kepada ibu."Hari Anak-anak dulunya disebut Hari Anak Laki-laki, sehingga hari libur ini pada prakteknya diwarnai tradisi untuk anak laki-laki. Perayaan khusus untuk anak perempuan disebut Hina Matsuri dan dirayakan pada 3 Maret yang bukan hari libur.

Tradisi kuno Tiongkok mengenal perayaan yang berkaitan dengan musim yang disebut di Jepang sebagai sekku. Sejak zaman dulu, bulan ke-5 kalender Tionghoa diisi dengan kegiatan mengusir roh-roh jahat. Tanggal 5 bulan 5 dikenal sebagai Tango no sekku (端午の節句 ?) (Duanwu) dan merupakan hari untuk merayakan kesehatan dan pertumbuhan anak laki-laki.Selama perayaan Hari Anak-anak, di rumah keluarga yang memiliki anak laki-laki terdapat tradisi memajang replika yoroi (pakaian ksatria zaman dulu) dan kabuto (helm samurai). Keluarga yang memiliki anak laki-laki juga memasang koinobori (bendera berbentuk ikan mas). Pada bendera ikan mas yang paling besar digambarkan anak laki-laki super kuat Kintarō sedang menunggang ikan emas. Kabuto, Yoroi, dan tokoh Kintarō digunakan sebagai simbol harapan anak laki-laki yang sehat dan kuat. Kue yang dimakan selama perayaan adalah kue chimaki dan kashiwamochi.Festival Nebuta Aomori (青森ねぶた祭り ,Aomori Nebuta Matsuri?) atau Aomori Nebuta (青森ねぶた ?) adalah festival musim panas dari 2 Agustus hingga 7 Agustus di kota Aomori, Prefektur Aomori. Festival ini termasuk salah satu acara menyambut Tanabata yang dilakukan di wilayah Tohoku. Nebuta adalah lentera ukuran raksasa yang dibuat dari kerangka kayu berlapis washi yang umumnya berbentuk boneka pemeran kabuki atau hewan. Nebuta diusung dengan kendaraan hias untuk berpawai di jalan-jalan.

Festival ini setiap tahunnya diikuti lebih dari 3 juta peserta dan wisatawan.[1] Bersama-sama dengan Tanabata di Sendai, dan Kantō di Akita, Aomori Nebuta adalah salah satu dari tiga festival terbesar di wilayah Tohoku. Dua festival nebuta terbesar di Prefektur Aomori adalah Aomori Nebuta dan Hirosaki Neputa.Ciri khas festival ini adalah orang yang menari beramai-ramai sewaktu berpawai bersama nebuta. Tari khas Festival Nebuta disebut haneto dengan gerakan kaki seperti melonjak-lonjak atau berjingkrak (跳ねる ,haneru?). Tidak diketahui secara pasti asal mula istilah haneto dipakai untuk menyebut cara menari festival nebuta, namun istilah ini sudah dipakai dalam naskah asal tahun 1772-1781.[2]

Penari juga disebut haneto (跳人 ?) dan mengenakan kostum yang juga disebut haneto (ハネト ?). Kostum penari berupa yukata dari kain katun, dilengkapi tutup kepala (hanagasa) berhias bunga-bunga, kain pundak (tasuki) berwarna cerah (merah, merah jambu) pengikat lengan yukata, dan ikat pinggang kain (shigoki) untuk menggantungkan mangkuk minum (gagashiko) dari kaleng. Di bawah yukata dikenakan kain pinggang (okoshi) berwarna merah jambu untuk wanita (biru untuk pria) yang menutup pinggang hingga lutut. Alas kaki adalah tabi berwarna putih dan zōri.[3] Penonton diharapkan untuk ikut menari. Kostum haneto dapat dibeli di toko serba ada atau dipinjam di toko peminjaman kostum.Aomori Nebuta berawal dari tradisi menghanyutkan lentera kertas pada malam Tanabata. Boneka Nebuta yang dihanyutkan di sungai atau laut termasuk tradisi menghalau nasib buruk pada malam Tanabata. Sekitar 270-290 tahun yang lalu (era Kyōhō 1716-1735) di dekat kota Aburagawa dilangsungkan festival lentera yang mirip dengan Hirosaki Neputa. Peserta waktu itu mengusung lentera sambil menari di jalan-jalan. Pemandangan festival lentera waktu itu mungkin mirip dengan Gion Matsuri di Kyoto

Nebuta berbentuk lentera raksasa yang menggambarkan tokoh-tokoh dalam kabuki muncul sekitar puncak keemasan seni rakyat biasa pada era Bunka (1804-1817). Sejarawan daerah Takeo Matsuno menulis tentang festival nebuta di surat kabar To-o Nippo edisi Agustus 1966. Dalam tulisan tersebut dikisahkan tentang pengamat budaya zaman Edo bernama Gobutsu Kokkeisha menulis tentang pemandangan festival Tanabata di kota Noshiro, Prefektur Akita pada tahun 1843. Dalam buku Oku no Shiori,[2] dikisahkannya tentang boneka-boneka kertas yang yang antara lain menggambarkan Kaisar Jingū dan Kato Kiyomasa dalam ekspedisi penaklukan Korea. Boneka-boneka kertas tersebut tingginya sekitar 10 m dan lebar 6 m, dan diarak di atas kendaraan beroda. Di dalam boneka-boneka kertas dipasang lilin. Nebuta diarak-arak oleh orang yang menari-nari dengan iringan genta, taiko, dan terompet kulit kerang. Pemandangan aneh tersebut dikatakannya juga ada di Hirosaki dan Kuroishi.[2]Sejak beberapa puluh tahun lampau, acara ini sering diganggu kelompok anak muda yang disebut karasuzoku (カラス族 ,gerombolan gagak?). Mereka datang tidak mengenakan kostum haneto, melainkan baju serba hitam sehingga disebut gerombolan gagak. Karasuzoku mengacau dengan cara mengajak berkelahi, bermabuk-mabukan, dan bermain petasan. Pada tahun 1996 terjadi bentrokan antara karasuzoku dan penonton hingga menyebabkan penonton luka berat.Tahun baru (正月 ,shōgatsu?) di Jepang dirayakan tanggal 1 Januari dan berlangsung hingga tanggal 3 Januari. Dalam bahasa Jepang, kata "shōgatsu" dulunya dipakai untuk nama bulan pertama dalam setahun, tapi sekarang hanya digunakan untuk menyebut tiga hari pertama di awal tahun.

Istilah "shōgatsu" juga digunakan untuk periode matsu no uchi (松の内 ?) atau masa hiasan daun pinus (matsu) boleh dipajang. Di daerah Kanto, Matsu no uchi berlangsung dari tanggal 1 Januari hingga 7 Januari, sedangkan di daerah Kansai berlangsung hingga koshōgatsu (小正月 ?, tahun baru kecil) tanggal 15 Januari.

Tanggal 1 Januari adalah hari libur resmi di Jepang, tapi kantor pemerintah dan perusahaan swasta tutup sejak tanggal 29 Desember hingga 3 Januari. Bank dan lembaga perbankan tutup dari tanggal 31 Desember hingga 3 Januari, kecuali sebagian ATM yang masih melayani transaksi.

Sampai tahun 1970-an, sebagian besar toko dan pedagang eceran di daerah Kanto tutup hingga tanggal 5 Januari atau 7 Januari. Perubahan gaya hidup dan persaingan dari toko yang buka 24 jam membuat kebiasaan libur berlama-lama ditinggalkan. Mulai tahun 1990-an, hampir semua mal dan pertokoan hanya tutup tanggal 1 Januari dan mulai buka keesokan harinya tanggal 2 Januari, tapi biasanya dengan jam buka yang diperpendek. Hari pertama penjualan barang (hatsu-uri) di pusat pertokoan dimeriahkan dengan penjualan fukubukuro (kantong keberuntungan). Penjualan barang di semua mal dan pertokoan sudah normal kembali sekitar tanggal 4 Januari.Tanggal 1 Januari disebut ganjitsu (元日 ?, hari pertama), sedangkan pagi hari 1 Januari disebut gantan (元旦 ?, pagi pertama). Perayaan tahun baru berlangsung selama tiga hari yang disebut sanganichi (三が日 ?, 3 hari).

Bagi sebagian orang, tahun baru belum berakhir sampai tanggal 20 Januari yang disebut hatsuka shōgatsu (二十日正月 ?, tahun baru tanggal 20), saat semua hiasan tahun baru sudah harus disimpan. Di daerah Kansai, Hatsuka shōgatsu dikenal sebagai honeshōgatsu (骨正月 ?, tahun baru tulang) karena biasanya pada hari tersebut, ikan masakan tahun baru sudah habis dimakan sampai ke tulang-tulangnya.

Kegiatan menyambut tahun baru sudah dimulai sejak dua atau tiga minggu sebelum pergantian tahun. Di daerah Kanto, hari persiapan tahun baru yang disebut o-koto hajime (お事始め ?, awal kegiatan) jatuh pada 8 Desember, sedangkan di daerah Kansai pada 13 Desember.Tanggal 1 Januari disebut ganjitsu (元日 ?, hari pertama), sedangkan pagi hari 1 Januari disebut gantan (元旦 ?, pagi pertama). Perayaan tahun baru berlangsung selama tiga hari yang disebut sanganichi (三が日 ?, 3 hari).

Di zaman dulu, kalender Jepang didasarkan pada kalender Tionghoa, sehingga orang Jepang merayakan tahun baru pada awal musim semi, bersamaan dengan Tahun baru Imlek, Tahun baru Korea, dan Tahun baru Vietnam. Di tahun 1873, pemerintah Jepang mulai menggunakan kalender Gregorian sehingga tahun baru ikut dirayakan tanggal 1 Januari.

Di Jepang, penghormatan terhadap arwah leluhur dilakukan sebanyak dua kali, di musim panas sewaktu merayakan obon dan di awal tahun baru. Sewaktu merayakan tahun baru, arwah leluhur dipercaya datang sebagai Toshigami (年神 ?, dewa tahun) yang memberi berkah dan kelimpahan sepanjang tahun.

Tahun baru pernah digunakan untuk merayakan bertambahnya usia. Tradisi ini dilakukan semasa orang Jepang masih mengikuti cara perhitungan usia yang disebut kazoedoshi. Bayi dianggap sudah berumur 1 tahun sewaktu dilahirkan dan usia bertambah setahun pada tanggal 1 Januari. Di tahun 1902, perhitungan cara kazoedoshi digantikan sistem umur bertambah sewaktu berulang tahun (man-nenrei) yang lazim digunakan di seluruh dunia.Hari tanggal 31 Desember atau malam tahun baru disebut ōmisoka (大晦日 ?). Di malam tahun baru, orang Jepang mempunyai tradisi memakan soba yang disebut toshikoshi soba (年越しそば ?, soba melewati tahun).

Stasiun televisi di Jepang bersaing memperebutkan pemirsa dengan berbagai acara malam tahun baru. NHK mempunyai tradisi menayangkan acara Kōhaku Uta Gassen, berupa kompetisi lagu antarpenyanyi terkenal yang dibagi menjadi kubu merah dan kubu putih.



Penutupan perayaan tahun baru ditandai dengan memakan bubur nanakusa yang dimasak dengan 7 jenis sayuran dan rumput. Bubur ini dimakan tanggal 7 atau 15 Januari agar perut bisa beristirahat setelah dipenuhi makanan tahun baru.Osechi adalah sebutan untuk masakan istimewa yang dimakan di tahun baru. Sup zōni dari kuah dashi yang berisi mochi dan sayuran merupakan salah satu masakan osechi. Berbagai macam lauk masakan osechi dimasak berhari-hari sebelumnya dan diatur di dalam kotak kayu bersusun yang disebut jūbako (重箱 ?). Toko swalayan besar sejak beberapa minggu sebelum tahun baru juga sudah membuka pemesanan osechi. Lauk pada masakan osechi biasanya sangat manis atau asin, seperti: kuromame, tatsukuri (gomame), kombumaki, kamaboko, kurikinton, kazunoko, dan datemaki. Makanan tahun baru diharapkan bisa tahan lama, karena tahun baru merupakan kesempatan libur memasak bagi ibu rumah tangga di Jepang.

Ikan yang dimasak berbeda menurut daerahnya, di Jepang bagian timur digunakan ikan salem sedangkan di Jepang bagian barat digunakan ikan sunglir (buri). Beberapa daerah juga memiliki masakan khas yang tidak bisa dinikmati di tempat lain. Daerah Kansai memiliki masakan khas berupa ikan cod kering (bōdara) yang dimasak dengan gula pasir dan shōyu.

Penutupan perayaan tahun baru ditandai dengan memakan bubur nanakusa yang dimasak dengan 7 jenis sayuran dan rumput. Bubur ini dimakan tanggal 7 atau 15 Januari agar perut bisa beristirahat setelah dipenuhi makanan tahun baru.Acara menumbuk mochi (mochitsuki) merupakan salah satu tradisi menjelang tahun baru. Ketan yang sudah ditanak dimasukkan ke dalam lesung dan ditumbuk dengan alu. Satu orang bertugas menumbuk, sedangkan seorang lagi bertugas membolak-balik beras ketan dengan tangan yang sudah dibasahi air. Beras ketan ditumbuk hingga lengket dan membentuk gumpalan besar mochi berwarna putih.

Selain dimakan sebagai pengganti nasi selama tahun baru, mochi juga dibuat hiasan tahun baru yang disebut kagami mochi. Secara tradisional, kagami mochi dibuat dengan cara menyusun dua buah mochi berukuran bundar, ditambah sebuah jeruk di atasnya sebagai hiasan.
Orang Jepang mempunyai tradisi berkiriman kartu pos nengajō (年賀状 ?, ucapan tahun baru) yang tiba persis tanggal 1 Januari. Kartu pos ucapan tahun baru dijamin sampai ke alamat yang dituju pada tanggal 1 Januari, asalkan dikirim tidak melewati jangka waktu penerimaan yang ditetapkan kantor pos. Penerimaan kartu pos biasanya dimulai pertengahan Desember hingga beberapa hari terakhir sebelum penutupan tahun. Kantor pos membutuhkan pegawai ekstra yang direkrut dari kalangan pelajar, agar semua kartu pos bisa disampaikan tanggal 1 Januari.

Sebagai penghormatan terhadap orang yang meninggal, anggota keluarga yang baru ditinggalkan tidak merayakan tahun baru dan tidak mengirim kartu pos tahun baru. Sebagai gantinya, anggota keluarga yang baru ditimpa musibah mengirim kartu pos berisi pemberitahuan tidak bisa mengirim kartu pos ucapan tahun baru.

Setiap tahunnya, Kantor Pos Jepang memiliki tradisi mencetak kartu pos dengan tema yang berbeda-beda. Kartu pos dihiasi dengan lukisan tempat terkenal di Jepang dan gambar binatang Shio untuk tahun yang baru. Kartu pos tahun baru yang diterbitkan kantor pos juga memiliki nomor undian yang diundi di awal tahun. Penerima kartu pos yang beruntung bisa memenangkan berbagai hadiah berupa barang. Selain di kantor pos, kartu pos ucapan tahun baru juga bisa dibeli di berbagai tempat. Kartu pos yang dijual di toko buku memiliki pilihan gambar yang lebih banyak, tapi sering masih perlu ditempeli prangko.

Kartu pos ucapan tahun baru bisa ditulisi sendiri dengan berbagai pesan dan ucapan. Gambar binatang atau kalimat ucapan standar bisa ditambahkan dengan menggunakan stempel karet beraneka warna yang dijual di toko buku atau stempel yang disediakan di kantor pos. Kartu pos ucapan tahun baru sering digunakan untuk memamerkan kemampuan menulis indah bagi pengirim yang pandai menulis kaligrafi. Pemilik komputer pribadi bisa menggunakan perangkat lunak khusus untuk mencetak kartu pos. Bagi orang yang memiliki banyak kenalan dan relasi, kartu pos biasanya sudah ditulisi sejak awal bulan Desember.

Berbagai ucapan selamat tahun baru yang umum:

* Kotoshi mo yoroshiku onegai shimasu (今年もよろしくお願いします ?)
* Akemashite omedetō gozaimasu (あけましておめでとうございます ?, Selamat tahun baru)
* Kin-ga shinnen (謹賀新年 ?, Mengucapkan tahun baru)
Orang Jepang mempunyai tradisi memberikan angpao yang dikenal dengan sebutan otoshidama (お年玉 ?). Sewaktu memberikan otoshidama untuk anak-anak, sejumlah uang kertas yang masih baru atau uang logam dimasukkan ke amplop kecil bernama pochibukuro (otoshidama-bukuro) yang berhiaskan aneka gambar kesukaan anak-anak. Otoshidama sangat ditunggu-tunggu anak-anak di Jepang, terutama bila memiliki paman atau bibi yang murah hati.Perayaan tahun baru juga dimeriahkan dengan menulis aksara kanji pertama untuk tahun tersebut. Tradisi menulis aksara kanji yang dilakukan tanggal 2 Januari disebut kakizome (kaligrafi pertama).

Tahun baru juga dirayakan dengan berbagai permainan, seperti: permainan fukuwarai (meletakkan gambar bagian-bagian wajah, seperti hidung, alis mata, dan mulut pada tempat yang tepat dengan mata tertutup), hanetsuki (bulutangkis tradisional), menaikkan layang-layang (takoage), gasing (koma), bermain dadu (sugoroku), dan permainan memungut kartu yang disebut karuta.Festival Hantu (Hanzi: 鬼節, hanyu pinyin: gui jie) adalah sebuah tradisi perayaan dalam kebudayaan Tionghoa. Festival ini juga sering disebut sebagai Festival Tionggoan (Hanzi: 中元, hanyu pinyin: zhong yuan).

Perayaan ini jatuh pada tanggal 15 bulan 7 penanggalan Tionghoa, bulan 7 dalam penanggalan Tionghoa juga dikenal sebagai bulan hantu dimana ada kepercayaan bahwa dalam kurun waktu satu bulan ini, pintu alam baka terbuka dan hantu-hantu di dalamnya dapat bersuka ria berpesiar ke alam manusia.

Demikian halnya sehingga pada pertengahan bulan 7 diadakan perayaan dan sembahyangan sebagai penghormatan kepada hantu-hantu tersebut. Tradisi ini sebenarnya merupakan produk masyarakat agraris di zaman dahulu yang bermula dari penghormatan kepada leluhur serta dewa-dewa supaya panen yang biasanya jatuh di musim gugur dapat terberkati dan berlimpah. Namun pengaruh religius terutama dari Buddhisme menjadikan tradisi perayaan ini sarat dengan mitologi tentang hantu-hantu kelaparan yang perlu dijamu pada masa kehadiran mereka di dunia manusia. Di dalam Buddhisme, tradisi ini disebut sebagai Ulambana yang juga dirayakan dan eksis dalam kebudayaan Jepang. Namun, Ulambana tidak dapat diartikan langsung sebagai Festival Hantu dan sebaliknya juga.

Terlepas dari semua mitologi religius di atas, hikmah dari perayaan ini sebenarnya adalah penghormatan kepada leluhur dan penjamuan fakir miskin. Ini ditandai dengan tradisi sembahyang rebutan, yang membagi-bagikan makanan sembahyangan kepada para fakir miskin setelah penghormatan selesai.White Day (ホワイトデー Howaito dē ?) (bahasa Indonesia: Hari Putih) adalah hari memberi hadiah untuk wanita yang jatuh tanggal 14 Maret. Perayaan ini berasal dari Jepang dan bukan tradisi Eropa atau Amerika. Hadiah berupa marshmallow atau permen diberikan sebagai balasan atas hadiah cokelat yang diterima pria sebulan sebelumnya di Hari Valentine. Di zaman sekarang, hadiah yang diberikan untuk wanita yang disenangi dapat berupa bunga, saputangan, perhiasan, atau barang-barang lain yang disukai wanita.

Pertama kali dirayakan tahun 1980 di Jepang, perayaan ini sekarang juga dirayakan di negara Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Indonesia. Perayaan Hari Putih berawal dari strategi koperasi produsen permen Jepang yang ingin meningkatkan penjualan permen. Bahan baku permen adalah gula yang berwarna putih sehingga disebut Hari Putih. Ide perayaan diambil dari "Hari Marshmallow" yang merupakan acara promosi kue marshmallow Tsuru no ko yang diadakan toko kue di kota Fukuoka.Di Hari Valentine, wanita dari berbagai kelompok umur di Jepang memiliki tradisi memberi hadiah cokelat kepada pria yang disenangi, teman sekolah, rekan kerja, pacar, ayah, atau suami. Pria yang menerima cokelat berkeinginan membalasnya, dan niat ini disambut pedagang permen di sekitar pertengahan tahun 1970-an dengan mencetuskan ide "hadiah balasan" berupa kue kering, marshmallow, atau permen.

Strategi penjualan permen sebagai "hadiah balasan" ternyata berhasil meningkatkan angka penjualan, sehingga koperasi produsen permen nasional wilayah Kanto menetapkan 14 Maret sebagai Hari Putih. Di tahun 1978, koperasi produsen permen menciptakan slogan untuk Hari Putih sebagai "hari untuk mengirim permen". Setelah dipersiapkan selama 2 tahun, perayaan Hari Putih yang pertama dilangsungkan secara nasional di Jepang pada tahun 1980.Koinobori (こいのぼり, 鯉のぼり, atau 鯉幟 ,bendera koi?) adalah bendera berbentuk ikan koi yang dikibarkan di rumah-rumah di Jepang oleh orang tua yang memiliki anak laki-laki. Pengibaran koinobori dilakukan untuk menyambut perayaan Tango no Sekku.

Menurut penanggalan Imlek, Tango no Sekku jatuh pada tanggal 5 bulan 5 ketika Asia Timur sedang musim hujan. Orang tua yang memiliki anak laki-laki mengibarkan koinobori hingga hari Tango no Sekku untuk mendoakan agar anak laki-lakinya menjadi orang dewasa yang sukses. Setelah Jepang memakai kalender Gregorian, koinobori dikibarkan hingga Hari Anak-anak (5 Mei). Koinobori yang tertiup angin telah menjadi simbol perayaan Hari Anak-anak. Kalau zaman dulu koinobori berkibar di tengah musim hujan, koinobori biasanya sekarang mengingatkan orang Jepang tentang langit biru yang cerah di akhir musim semi.

Satu set koinobori terdiri dari ryūdama, yaguruma, fukinagashi, dan bendera-bendera ikan koi.

* Ryūdama (bola naga)

Bola yang bisa berputar dipasang di ujung paling atas tiang tempat mengibarkan koinobori.

* Yaguruma

Roda berjari-jari anak panah yang dipasang di bawah ryūdama. Ryūdama dan yaguruma dipercaya sebagai pengusir arwah jahat.

* Fukiganashi

Sarung angin berhiaskan panji-panji lima warna (biru, merah, kuning, putih, dan hitam) atau gambar ikan koi. Fukinagashi melambangkan 5 unsur (kayu, api, air, tanah, dan logam), dan dipercaya sebagai penangkal segala penyakit.

* Koinobori hitam (magoi)

Koinobori berwarna hitam yang melambangkan ayah dikibarkan di bawah fukinagashi.

* Koinobori merah (higoi) dan koinobori warna lainnya

Koinobori lain yang berukuran lebih kecil dikibarkan di bawah koinobori merah. Pada zaman sekarang, koinobori merah melambangkan ibu, koinobori biru melambangkan putra sulung, dan koinobori hijau melambangkan putra kedua. Dalam Buku Han Akhir (Hou Han Shu) yang merupakan salah satu dari buku sejarah resmi Cina (Sejarah Dua Puluh Empat Dinasti) dikisahkan tentang sebuah air terjun di sungai Sungai Kuning yang alirannya deras. Ikan-ikan berusaha keras memanjat air terjun, namun hanya koi yang berhasil memanjat air terjun dan berubah menjadi naga. Oleh karena itu, koi yang berhasil menaiki air terjun dijadikan simbol kesuksesan dalam hidup.

Tradisi pengibaran koinobori di halaman rumah dimulai oleh kalangan samurai pada pertengahan zaman Edo. Mereka memiliki tradisi merayakan Tango no Sekku dengan memajang peralatan bela diri, seperti yoroi, kabuto, dan boneka samurai. Selain itu, mereka membuat koinobori dari kertas, kain, atau kain bekas yang dijahit dan digambari ikan koi. Koinobori dibuat agar bisa berkibar dan menggelembung bila tertiup angin.Pada awalnya, orang Jepang hanya mengibarkan koinobori berwarna hitam yang disebut magoi (真鯉 ?). Koi yang dikibarkan paling atas melambangkan putra sulung dalam keluarga. Sebagai hiasan yang dibuat untuk meramaikan perayaan, koinobori warna lain juga berangsur-angsur mulai dibuat, dan semuanya melambangkan anak laki-laki dalam keluarga. Sejak zaman Meiji, koinobori berwarna merah yang disebut higoi (緋鯉 ?) mulai dikibarkan untuk menemani koinobori berwarna hitam. Tradisi pengibaran koinobori biru dimulai sejak zaman Showa. Ukuran koinobori biru (kogoi, 子鯉) lebih kecil dari koinobori merah atau hitam, dan melambangkan anak koi.

Pada zaman sekarang sering dijumpai koinobori warna hijau dan oranye yang dimasudkan sebagai anak-anak koi. Di beberapa tempat di Jepang, koinobori bukan saja milik anak laki-laki. Koinobori yang melambangkan adanya anak perempuan dalam keluarga juga ingin ikut dikibarkan. Tersedianya koinobori warna cerah seperti oranye kemungkinan ditujukan untuk keluarga yang memiliki anak perempuan.

Pada 1931, pencipta lagu Miyako Kondo menulis lagu berjudul "Koinobori". Dalam lirik lagu tersebut, koinobori yang besar dan berwarna hitam adalah bapak koi dan koinobori warna lain yang lebih kecil adalah anak-anak koi.[1] Konsep dari lirik lagu tersebut diterima secara luas di tengah rakyat yang sedang di bawah pemerintahan militer. Seusai Perang Dunia II, peran wanita makin penting, dan koinobori warna merah dipakai untuk melambangkan ibu koi. Satu set koinobori akhirnya secara lengkap melambangkan keluarga yang utuh: bapak, ibu, dan putra-putrinya. Hingga kini, lagu "Koinobori" ciptaan Miyako Kondo tetap dinyanyikan anak-anak, namun liriknya tetap sama seperti ketika diciptakan pada tahun 1931.

Berkibarnya koinobori sudah menjadi pemandangan langka di kota-kota besar di Jepang. Makin sedikitnya keluarga di Jepang yang memiliki anak kecil mungkin menjadi penyebabnya. Selain itu, penduduk kota besar tidak lagi tinggal di kompleks perumahan, melainkan di apartemen (mansion) yang tidak memiliki halaman untuk mengibarkan koinobori. * Kazo, Prefektur Saitama

Kazo dikenal sebagai pusat kerajinan koinobori sejak sebelum Perang Dunia II. Di kota ini setiap tahun pada bulan Mei dikibarkan koinobori berukuran raksasa.[2] Tradisi ini dimulai sejak tahun 1988 dengan mengibarkan koinobori berukuran panjang 100 m dan berat 600 kg.[3]

* Tsuetate Onsen, Oguni, Prefektur Kumamoto

Dari April hingga awal Mei, ryokan yang terletak di lembah Sungai Tsuetate mengibarkan lebih dari 3.500 koinobori.[4]

* Ino, Distrik Agawa, Prefektur Kōchi

Setiap awal Mei, koinobori dari washi dipasang di aliran Sungai Niyodo. Koinobori dari washi tidak sobek walaupun basah terkena air sungai.[5]

* Kanazawa, Prefektur Ishikawa

Acara tahunan berupa pemasangan dua ratus koinobori di tengah aliran Sungai Asano, Kanazawa[6]

* Suzu, Prefektur Ishikawa

Setiap awal Mei, ratusan koinobori dikibarkan di atas Sungai Ōtani.

* Shimanto, Distrik Takaoka, Prefektur Kōchi

Setiap akhir April hingga awal Mei, sekitar 500 koinobori dipasang di tengah aliran Sungai Shimanto.

* Tatebayashi, Prefektur Gunma

Festival Koinobori di 5 lokasi dari akhir Maret hingga pertengahan Mei. Jumlah koinobori yang dikibarkan di Tatebayashi tercatat sebagai terbanyak di dunia (lebih dari 5.000 koinobori). Pada Mei 2005, festival ini mengibarkan sejumlah 5.283 koinobori, dan tercatat dalam Guinness World Records.Hari Kebudayaan (文化の日 ,Bunka no hi?) adalah hari libur resmi di Jepang yang jatuh tanggal 3 November. Hari libur ini menurut undang-undang hari libur Jepang (Shukujitsu-hō) bertujuan agar rakyat "mencintai kebebasan dan perdamaian, serta memajukan kebudayaan."

Tanggal 3 November 1946 merupakan hari pengumuman konstitusi baru Jepang yang mementingkan perdamaian dan kebudayaan, sehingga undang-undang hari libur Jepang (Shukujitsu-hō) tahun 1948 menetapkan 3 November sebagai Hari Kebudayaan. Tanggal 3 Mei 1947 yang merupakan hari pertama pelaksanaan konstitusi Jepang dijadikan hari libur yang disebut Hari Peringatan Konstitusi

Upacara penganugerahan Medali Kebudayaan dilangsungkan di istana kaisar (Kōkyo) pada Hari Kebudayaan. Selain itu, Kantor Kebudayaan mengadakan festival kesenian yang dimeriahkan dengan pemberian hadiah untuk berbagai bidang kesenian. Pengunjung sebagian museum pada hari ini juga dibebaskan dari biaya masuk.Festival Salju Sapporo (さっぽろ雪まつり ,Sapporo Yuki Matsuri?) adalah festival salju terbesar di Jepang yang diadakan di kota Sapporo, Hokkaido. Festival ini dilangsungkan selama seminggu pada awal bulan Februari. Setiap tahunnya sekitar dua juta wisatawan dari dalam negeri dan luar negeri berkunjung ke Sapporo selama berlangsungnya festival.[1]

Sejak tahun 2006, festival ini diadakan di tiga lokasi: Taman Odori, Susukino, dan Sapporo Satoland. Di lokasi Taman Odori dipamerkan ukiran es dan salju berukuran sangat besar, termasuk pahatan es berbentuk miniatur bangunan terkenal. Pameran ukiran es yang lebih kecil diadakan di Susukino, sementara acara untuk keluarga diadakan di Sapporo Satoland.Festival salju Sapporo pertama kali diselengarakan tahun 1950 oleh dinas pariwisata Sapporo dan pemerintah kota Sapporo, dengan sponsor surat kabar lokal Hokkai Times. Di Sapporo sebenarnya pernah dilangsungkan berbagai festival salju, namun terhenti sewaktu Perang Dunia II.

Ide membuat patung dari salju diambil dari festival salju yang diadakan tahun 1935 oleh murid-murid sebuah SD di kota Otaru. Festival yang pertama bermodalkan 6 buah patung salju buatan siswa SMP dan SMU kota Sapporo, ditambah festival salju di depan stasiun Hokkaido yang diadakan Japanese National Railways (sekarang disebut JR). Festival dimeriahkan dengan kontes, senam, perlombaan, tari, dan pemutaran film.Pada festival salju yang pertama, tinggi patung dibatasi hingga 7 meter. Di festival ke-4 (1953), batasan tinggi dihapus dan siswa sekolah menengah kejuruan kota Hokkaido membangun ukiran es yang tingginya 15 meter. Salju yang diperlukan berjumlah sangat banyak hingga perlu bantuan pinjaman truk dan buldoser dari pemerintah kota Hokkaido. Sejak itu, pemerintah kota Hokkaido selalu meminjamkan alat-alat berat sehingga bisa dibangun ukiran es dan salju berskala besar.

Pada festival ke-5 (1954) mulai ikut dipamerkan patung salju sumbangan penduduk kota. Festival yang ke-6 (1955) ditandai dengan makin banyaknya peserta. Bangunan dalam berbagai bentuk yang dibuat pasukan bela diri Jepang, perusahaan swasta, pemerintah kota, dan berbagai sponsor mulai ditata rapi.

Sejak sekitar festival ke-10 (1959), wisatawan dari luar Hokkaido mulai banyak yang datang untuk melihat festival salju Sapporo. Festival tahun 1972 diadakan bersamaan dengan penyelenggaraan olimpiade musim dingin tahun 1972 dan ikut diperkenalkan di luar negeri. Sejak itu, festival ini mulai dijadikan tujuan oleh wisatawan asing. Sejak tahun 1974, festival dimeriahkan lomba internasional seni pahat es dan salju yang diikuti seniman pemahat dari berbagai kota besar di dunia.

Lokasi pameran patung es di Susukino berasal dari acara lokal yang diadakan pertama kali tahun 1981, dan baru menjadi bagian festival salju Sapporo di tahun 1983. Dari festival ke-41 (tahun 1990) hingga festival ke-42 (tahun 1992), festival salju Sapporo pernah dilangsungkan di 4 lokasi, tapi lokasi ke-4 ditutup karena sedikitnya jumlah pengunjung dan ukiran salju yang dipamerkan.Owara Kaze no Bon (おわら風の盆 ?) adalah festival tari Bon di Yatsuo, Toyama, Prefektur Toyama, Jepang dari 1 September hingga 3 September.

Diiringi lagu minyō berirama sedih "Etchū Owarabushi", tari Owara Kaze no Bon dibawakan para penari melewati jalan-jalan kota Yatsuo yang mendaki dan menurun. Penari wanita menari dengan gerakan yang lembut, sedangkan penari pria menari dengan gagah. Tari diiringi melodi melankolis dari shamisen dan alat musik gesek kokyū, sementara lirik lagu dilantunkan oleh wanita berusia matang. Penari membawakan tari sambil membisu.

Ada tiga jenis penyajian tari Owara Kaze no Bon:

* Machinagashi: penari berkeliling di jalan-jalan kota bersama kelompok pemusik dan penyanyi (jikata)
* Wa Odori: tari dibawakan oleh penari yang membentuk lingkaran
* Butai Odori: tari dibawakan dibawakan di atas panggung yang berada di berbagai lokasi di dalam kota.
Paling tidak ada tiga penjelasan tentang asal usul kata owara dalam nama Owara Kaze no Bon. Kata owara kemungkinan berasal dari lirik lagu "Owaraibushi" (お笑い節 ?, Melodi Tertawa) yang dinyanyikan para geisha sambil menari. Pada musim gugur 1812, para geisha bersenda gurau dengan mengenakan kostum dan menari di jalan-jalan. Dalam lirik lagu yang mereka nyanyikan terdapat kata owarai. Dari kata owarai selanjutnya berubah menjadi owara (tertawa).[1] Kemungkinan lain, tari ini dibawakan sambil memohon panen melimpah dan ikatan batang padi (wara) menjadi besar-besar (大藁, ōwara) sehingga disebut Owara Kaze no Bon.[1] Kemungkinan ketiga, owara adalah nama sebuah desa. Perempuan kelahiran Desa Owara dekat kota Yatsuo ketika bekerja sebagai pengasuh anak menyanyikan lagu nina bobo dengan suara yang merdu.[1]

Tari Owara dikabarkan pertama kali dibawakan pada tahun 1702 dalam perayaan selama tiga hari. Tari Owara Kaze no Bon seperti dikenal orang zaman sekarang terdiri dari tiga jenis: Hōnen Odori (Tari Honen, sejak tahun 1920), serta dua tari yang dimulai sejak 1929, Otoko Odori (tari pria), dan Onna Odori (tari wanita). Hōnen Odori adalah tari gaya lama, sedangkan Otoko Odori dan Onna Odori adalah tari gaya baru.Shichi-Go-San (七五三 ,Shichigosan?, 3, 5, 7) adalah nama upacara di Jepang yang merayakan pertumbuhan anak berusia 3, 5, dan 7 tahun. Perayaan dilakukan setiap tahun sekitar tanggal 15 November dan bukan merupakan hari libur.

Peserta perayaan adalah anak laki-laki berusia 3 dan 5 tahun, dan anak perempuan berusia 3 dan 7 tahun. Umur-umur tersebut dipercaya sebagai tonggak sejarah dalam kehidupan, dan angka-angka ganjil menurut tradisi Tionghoa dipercaya membawa keberuntungan. Anak-anak yang cukup umur sebagai peserta Shichi Go San didandani dengan kimono dan dibawa ke kuil Shinto untuk didoakan. Orang tua memanfaatkan kesempatan ini untuk mengabadikan anak-anak yang sudah berpakaian bagus dengan berfoto di studio foto.

Anak-anak yang merayakan Shichi Go San mendapat hadiah permen panjang yang disebut permen chitose (千歳飴 ,chitoseame?, permen seribu tahun) yang dipercaya membuat anak sehat dan panjang umur. Kantong tempat permen chitoseame bergambar kura-kura dan burung jenjang yang merupakan simbol umur panjang.Hari ke-15 menurut kalender Tionghoa merupakan hari baik dan semua yang dilakukan di hari tersebut dipercaya membawa keberuntungan, dan bulan 11 merupakan bulan selesai panen. Orang zaman kuno pergi ke kuil di bulan purnama hari ke-15 bulan ke-11 untuk berterima kasih atas hasil panen. Kesempatan ini sekaligus digunakan untuk berterima kasih atas pertumbuhan anak, serta memohon perlindungan agar anak tetap sehat dan dapat tumbuh hingga dewasa.

Di zaman dulu, angka kematian anak kecil sangat tinggi sehingga lahir tradisi merayakan anak-anak yang berhasil mencapai usia tertentu di kalangan keluarga petani di Jepang. Tradisi ini meluas ke kalangan samurai yang menambahkan sejumlah upacara. Anak perempuan dan anak laki-laki berusia 3 tahun mengikuti upacara Kamioki yang menandai mulai dipanjangkannya rambut anak setelah sebelumnya selalu dicukur habis. Anak usia 5 tahun mengikuti upacara Hakama-gi yang menandai pertama kali anak mulai memakai hakama dan haori. Anak perempuan mengikuti upacara Obitoki Himo-otoshi yang menandai pergantian kimono yang dipakai anak perempuan, dari kimono anak-anak yang bertali menjadi kimono berikut obi seperti yang digunakan orang dewasa. Kesempatan Shichi Go San sering merupakan kesempatan pertama bagi anak perempuan untuk merias wajah.

Sejak kalender Gregorian digunakan di Jepang, perayaan dilangsungkan pada 15 November. Di zaman sekarang, waktu membawa anak ke kuil sebagai Shichi Go San sudah disesuaikan dengan waktu libur orangtua. Anak boleh dibawa kapan saja ke kuil di sepanjang bulan November (hari Sabtu, Minggu, atau hari libur), dan tidak harus persis di tanggal 15 November. Di Hokkaido dan daerah-daerah dengan musim dingin yang sangat dingin, udara sudah dingin di sekitar 15 November sehingga perayaan sering dilakukan sebulan lebih awal pada 15 Oktober.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Watcha!